Cari Blog Ini

Minggu, 11 Maret 2012

KPK Vs KORUPTOR....hahahaha

Sulit untuk membantah pendapat yang menyatakan bahwa bangsa ini telah sangat terpuruk. Salah satu penyebab keterpurukan bangsa ini adalah akibat praktek-praktek korupsi, yang hingga hari ini belum juga bisa teratasi. Bahkan korupsi di negeri ini sudah sampai pada titik nadir, sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolerir lagi. Korupsi telah begitu mengakar dan sistematis, bahkan seperti sudah menjadi budaya bangsa. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya. Negara yang menjadikan     Pancasila sebagai dasar Negara, yang menjadikan Keadilan Sosial sebagai tujuan yang harus dicapai untuk seluruh rakyatnya, ternyata menjadi ladang subur koruptor selama lebih dari setengah umur kemerdekaan negeri ini.
 
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, prilaku  korupsi  dalam lingkungan aparatur pemerintahan sudah menjadi masalah yang sulit diberantas.  Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi yaitu  dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia retooling Aparatur Negara ( Paran ) yang dipimpin oleh AH Nasution. Mudah ditebak hasilnya, badan ini mendapat tentangan dari para pejabat  yang korup dengan dalih pertaggungan jawab para pejabat itu adalah kepada presiden . Paran akhirnya dibubarkandan dab  menyerahkan kembali pelaksanaan serta kewenangan  tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Tahun 1962 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi . Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Lagi - lagi alasan politis menyebabkan kemandekan dan bahkan kemacetan dalam pemberantasan korupsi.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi TPK ). . Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi yang pada akhirnya  makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru. Setelah tumbanganya kepemimpinan Suharto, upaya pemberantasan  korupsi dimulai oleh oleh penerusnya  B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis hingga saat ini.
Namun demikian, kiprah KPK yang mampu menghadapkan para petinggi negeri ini seperti Mantan Kapolri Rusdiharjo atau para petinggi BI yang salah satunya adalah besan SBY bukan berarti tidak mendapat tantangan. Kisah kasus Cicak Vs Buaya  yang  ditengarai sebagai upaya kriminilisasi pimpinan KPK  oleh publik menggambarkan betapa kuatnya jaringan korupsi dalam pemerintahan yang berkuasa dari masa kemasa sejak negara ini didirikan.  Upaya pelemahan KPK dengan berbagai cara seperti wacana pembubaran KPK oleh kalangan DPR semakin menunjukkan adanya adu kekuasaan antara yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara dengan lembaga ini yang bertindak sebagai lembaga penghukum koruptor. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua KPK Busyro Muqqodas yang mengklaim lembaga yang dipimpinnya tidak akan bisa diintervensi oleh siapapun termasuk oleh parpol dalam menindak kejahatan korupsi, sebaliknya pimpinan Komisi III DPR menyatakan agar KPK dibubarkan. Artinya, KPK telah dinilai sebagai duri oleh lembaga yang mengesahkan undang2 negara ini terutama sejak diperiksanya pimpinan Banggar DPR oleh KPK.

Jika menelaah kasus korupsi yang belakangan ini mencuat kepermukaan pada tingkat pemerintahan pusat saja, kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin yang adalah Anggota DPR dan kasus korupsi yang terjadi di Kemenakertrans bahwa sesungguhnya korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja, baik legislatif maupun eksukutif.  Lembaga legislatif dan eksukutif hanyalah lembaga negara diatas kertas, namun dalam prakteknya tidak ada pemisahan secara jelas, sebab pada dasarnya elit  politik negeri ini lebih memandangnya sebagai pengisian kursi atau kedudukan.  Seperti halnya reshuffle kabinet, diatas kertas adalah hak prerogative presiden, namun dalam prakteknya parpol2  secara defakto memegang keputusan. Sebagaimana pernyataan  pimpinan parpol menyikapi tentang reshuffle, etikanya presiden berkonsultasi dengan pimpinan parpol tersebut. Atau pernyataan presiden yang memberikan kesempatan parpol untuk menyiapkan kadernya untuk bergabung dengan kabinet.  Pernyataan2 seperti itu sesungguhnya menggambarkan bahwa  pemilihan umum hanyalah mmerupakan legalisasi bagi2 kekuasaan dalam menduduki kursi2 yang tersedia, baik itu pada lembaga legislatif maupun eksekutif namun muaranya sama, semua dapat melakukan tindakan korupsi.
Dalam situasi seperti ini, dimana legislatif dan eksekutif sudah tidak ada batasannya, lembaga KPK menjadi momok yang menakutkan. DPR yang diatas kertas merupakan lembaga penyetuju  undang2 termasuk menyangkut undang2 yang menentukan eksistensi KPK, kewenangan itulah yang dipakai untuk melakukan tekanan kepada KPK agar mengikuti irama yang terbentuk dalam kekuasaan saat ini. Dilain sisi, pimpinan KPK yang tidak kebal hukum, bukan tidak menghadapi resiko dikriminalisasi oleh lembaga dibawah eksekutif.  Tekanan  dari sisi kiri dan kanan yang dialami oleh KPK bukan pula tidak menghasilkan kompromi, pemberantasan korupsi hanya sebatas operator lapangan sementara pelakunya tetap aman. Maka, tidaklah mengherankan jika pemebrantasan korupsi seperti sekarang ini yang mengesankan masih tebang pilih.  Sehingga, wacana pembubaran KPK oleh kalangan DPR maupun pernyataan tegas Ketua KPK hanyalah merupakan komsumsi publik bahwa upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan secara sungguh2.
Melihat sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dari masa kemasa diatas, mungkin sebuah renungan dapat kita ambil, bahwa sesungguhnya pembentukan parpol di Indonesia hanyalah untuk memperebutkan keuangan negara. Mereka para elit politik  juga adalah bagian dari rakyat Indonesia, selama rakyat masih menghendaki korupsi, tidak mungkin korupsi dapat diberantas dari muka bumi Indonesia. Sebagai contoh sederhana saja, umumnya aktivis yang menyatakan anti korupsi, ketika dia berhasil menduduki kekuasaan apakah akan dijamin menjadi  penguasa yang bersih ?.   Pada akhirnya kembali kepada masalah ekonomi bangsa ini, banyak daerah yang masih dipengaruhi oleh anggaran pemerintah pusat dimana riak ekonomi tergantung dari proyek pemerintah saja. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang kurang mendukung masyarakat menjadi masyarakat yang produktif.  Manusia adalah sumber daya utama yang banyak disia2kan dengan mendorong pertumbuhan TKI sebagai jalan pintas mendatangkan devisa. Padahal, para TKI menjadi tenaga produktif dinegara orang, sementara negara kita tetap menjadi negara konsumtif. Kelangkaan lapangan kerja inilah yang sesungguhnya menimbulkan orientasi pada penguasaan keuangan negara.  Yang tidak bersentuhan dengan keuangan negara baik oleh karena tidak memiliki kesempatan maupun yang memang tidak ingin terlibat, menjadi tenaga produktif dinegara lain, langsung tidak langsung akan memajukan negara lain. Sebuah konsekwensi yang sangat logis, bahwa  sedikit demi sedikit negara kita akan digerogoti oleh negara asing. Seperti halnya negara Malaysia yang relatif  lebih maju dari Indonesia, walaupun jumlah penduduknya lebih sedikit, dengan kekuatan ekonominya sangat mungkin  mampu menguasai bisnis di Indonesia. Paling tidak melalui modal perbankan yang nantinya mampu mendikte dunia usaha di Indonesia dengan memberikan porsi kredit konsumtif yang mengikat bangsa ini secara ekonomi. Padahal, untuk sebuah kemajuan diperlukan kredit produktif. Terhambatnya pembangunan infrastruktur ekonomi karena korupsi, pertarungan KPK Vs Koruptor yang  hanya ingin menyenangkan rakyat, yang menang adalah bangsa lain seperti Malaysia itu.

0 comments:

Posting Komentar

 
free search engine submission